Mengapa E-Voting Belum Siap Diterapkan Luas di Indonesia?
TEKNO

E-voting, atau sistem pemungutan suara elektronik, seringkali dielu-elukan sebagai solusi modern untuk pemilihan umum yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan janji kecepatan dalam perhitungan suara dan potensi mengurangi kecurangan manual, gagasan ini tampak sangat menarik di era digital ini. Namun, di Indonesia, penerapan e-voting secara luas masih menghadapi berbagai tantangan kompleks yang membuatnya belum dapat terwujud sepenuhnya. Pertanyaannya, mengapa sistem yang dianggap canggih ini belum siap diterapkan di negeri kita?
Sejarah Singkat dan Potensi E-Voting di Indonesia
Sebenarnya, e-voting bukanlah konsep yang sepenuhnya asing di Indonesia. Tercatat, sistem ini pernah digunakan di 1.752 desa dalam pemilihan kepala desa (pilkades). Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan mengklaim telah mengembangkan program teknis untuk e-voting. Ini menunjukkan bahwa secara teknis, kapasitas untuk mengembangkan dan mengujicobakan sistem e-voting sudah ada. Potensi e-voting memang besar, mulai dari mempercepat proses rekapitulasi, mengurangi kesalahan manusia, hingga menghemat biaya logistik kertas suara dan kotak suara.
Tantangan Utama: Kepercayaan Publik yang Masih Rendah
Salah satu hambatan paling mendasar dalam adopsi e-voting di Indonesia adalah tingkat kepercayaan masyarakat yang masih rendah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Betty Epsilon Idroos mengakui bahwa e-voting belum memenuhi prasyarat untuk diterapkan karena faktor ini. Masyarakat masih meragukan keamanan dan integritas sistem digital, terutama dalam proses sepenting pemilihan umum yang menentukan masa depan bangsa. Keraguan ini tidak lepas dari berbagai isu yang kerap mewarnai setiap gelaran pemilu di Indonesia.